Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

TENTANG LOVELY DAN EZAR


Ezar Satria Putra Langit, kenapa belakangan ini nama itu sering sekali menggangguku? Padahal bertemu dengan pemilik nama itu juga nggak sering-sering banget. Masa iya karena kemarin dia sudah menolong dan menyelamatkan nyawaku.
“Love, kok ngelamun?” Arya mengagetkanku dari belakang.
“Eh, nggak kok. Cuma lagi mikirin seseorang.”
“Siapa?”
“Ezar.” Arya terlihat mengerutkan kenignya. “Kenapa? Kok kaget denger aku nyebut nama Ezar?”

“Nggak apa-apa, aneh aja denger kamu lagi mikirin dia.” Aku tersenyum kecil.
“Aku sendiri juga nggak tahu kenapa, sejak kejadian kemarin, aku jadi sering mikirin dia. Apa karena aku belum bilang terima kasih ya?”
Benar juga, mungkin karena itu. Kemarin dia sudah menyelamatkan nyawaku dan aku belum bilang terima kasih sama dia.
Aku berdiri dari dudukku dan beranjak meninggalkan Arya yang masih mengerutkan keningnya. Yah, aku belum bilang sama Arya kalau kemarin aku hampir tertabrak motor di depan Casanova Cafe. Dan saat itu, Ezar menyelamatkanku tapi aku belum bilang terima kasih. Jadi sekarang, sebaiknya aku menemuinya dan bilang terima kasih. Kebetulan sekali ini hari minggu dan rumahnya ada tepat di depan rumahku.

Rumah Ezar tampak sepi. Aku sudah mengetuk pintu beberapa kali tapi tidak ada yang membukakan pintu. Lalu untuk terakhir kalinya, aku mencoba mengetuk pintu kayu itu sekali lagi.
Pintunya terbuka dan Ezar keluar dari rumah.
“Cari siapa?” Suaranya datar sekali, tidak seperti cowok lain yang bertemu dan menyapaku dengan lembut sambil menyebutkan namaku yang manis, Lovely.
“Cari kamu.” Kataku menjawabnya.
“Kenapa?” Dia bahkan nggak ngajak aku masuk ke rumahnya, kok nggak sopan banget sih?
“Mau bilang terima kasih untuk kemarin.”
“Oh, sudah? Itu doang?” Ha? Kok gitu banget tanggapannya ya?
“Eh, iya ... cuma mau bilang terima kasih.”
“Oh, sama-sama.” Dan sebelum aku mengucapkan permisi, dia sudah menutup pintu rumahnya. Nggak sopan!
***

Lovely Putri Ananta. Kemarin secara nggak sengaja aku menarik tangannya ketika sebuah motor melaju kencang dan hampir saja menabraknya. Dan untuk itu, baru saja dia datang dan mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya. Tapi aku justru memperlakukannya dengan sangat tidak sopan. Bisa dibilang, secara nggak langsung aku mengusirnya.
“Zar, tadi siapa yang datang?”
“Eh, Lovely Mam, tetangga depan rumah.”
“Loh, kok nggak dikasi masuk?”
“Dianya nggak mau masuk kok, Cuma mau bilang terima kasih karena sudah Ezar tolongin.” Mama mendekatiku, duduk disampingku dan mengelus kepalaku seperti mengelus kepala anak kecil.
“Kamu kenapa Ezar? Sejak kejadian beberapa bulan lalu kamu seperti kehilangan diri kamu sendiri. Sejak sahabatmu itu pergi dari rumah kita kamu sepertinya berubah.” Aku terkejut mendengar ucapan Mama. “Apa sahabatmu itu benar-benar berpengaruh untukmu Nak?” Pertanyaan Mama nggak kujawab. “Shandi benar-benar sudah merubah sikapmu.”
Shandi, nama itu hadir lagi. Dia adalah sahabat yang membuatku mengenal banyak hal yang orang lain tidak bisa mengerti. Kami sangat dekat, kemana-mana berdua dan bahkan kami tidur di satu kamar yang sama sejak dia ikut tinggal di rumah ini. Tapi kemudian dia pergi dan menghilang tanpa memberi pesan apapun.
“Jangan sebut nama itu lagi Ma.”
Tidak, aku sungguh suka setiap kali nama itu disebutkan, aku hanya benar-benar bisa memendam kerinduanku padanya.
***

Nyebelin! Sudah baik-baik datang ke rumahnya bilang terima kasih malah dicuekin begitu. Huh, sombong banget sih jadi orang.
Aku menggerutu pada diriku sendiri ketika baru membuka pintu rumah. Arya, sepupuku, menyambutku dengan wajah yang heran.
“Kenapa lagi? Kok datang-datang ngomel. Sudah bilang terima kasih sama Ezar?”
“Sudah, tapi sikapnya nyebelin banget. Tau gitu tadi aku nggak bilang terima kasih aja sekalian. Lagian juga kemarin nggak ditolong dia pun aku masih bisa selamat kok.”
“Emang dia nolong apa?”
“Kemarin aku hampir ketabrak motor, tapi dia nolong aku.” Arya hanya mengangguk-angguk. “Tapi aku nyesel sudah bilang terima kasih, apaan sikapnya itu sombong banget.” Dan tanpa memikirkan Arya aku meninggalkannya ke kamarku. Menggerutu sendiri karena perlakuan Ezar padaku tadi.
Lalu tak lama ...
“Lovely, ada telpon dari Ezar tuh!” Kalimat itu membuatku berlari keluar dari kamar dan segera mengangkat telpon.
“Apa?” tanyku ketus. Lalu suara Ezar menjawab dengan nada yang berbeda. Dia meminta maaf atas kekasarannya dan sebagai permintaan maaf, dia bilang mau traktir makan malam. Asyiiiiik!
--- @@@ ---

Akhirnya kuputuskan untuk meminta maaf atas sikapku pada Lovely siang tadi. Dan sebagai ucapan maaf, aku mengajak Lovely untuk makan di Casanova Cafe malam ini.
Aku sudah menunggunya sekitar lima belas menit, tapi dia belum juga datang. Ngapain aja dia sampai membuatku menunggu selama ini.
Aku memencarkan pandanganku dan menyadari satu hal. Di sini, beberapa bulan yang lalu aku pernah duduk dan menunggu seorang teman datang dan menepati janjinya. Dia berjanji akan mendatangiku dan menjelaskan tentang kepergiannya. Tapi kutunggu berjam-jam dia tak kunjung datang. Lalu kuputuskan untuk pergi dan ...
“Maaf, sudah lama nunggu ya?” Lovely mengagetkanku. Dan lebih kaget lagi aku ketika kulihat sosok yang ada tak jauh di belakangnya. Itu ... “Kenapa? Kok kayak ngeliat hantu gitu sih?”
“Nggak apa-apa.” Aku berusaha untuk memperjelas pandanganku, tapi sosok yang kulihat tadi itu, baru saja keluar dari pintu cafe. Itu dia, itu Shandi yang telah meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan.
“Aku boleh duduk?” tanya Lovely.
“Oh, iya silahkan. Langsung pesan saja.”
Aku mengalihkan pandanganku dan memfokuskan diriku pada sosok di hadapanku. Lovely, dia terlihat cantik malam ini. Dengan gaun berwarna hijau tosca yang menempel di badannya dia terlihat begitu segar. Wajahnya yang dipoles dengan sederahana terlihat begitu manis, terutama ketika dia tersenyum secara tiba-tiba. Kenapa aku baru menyadarinya?
“Lihat apa?”
“Lihat kamu.”
“Kenapa lihat aku begitu?”
“Kenapa kamu cantik banget malam ini?” Aku menjawab seadanya, tanpa berpikir apa yang akan dipikirkan Lovely atas apa yang kuucapkan. Dan jujur saja, aku sendiri bingung kenapa aku bisa mengatakan hal itu pada Lovely? Dan kenapa justru setelah melihat sosok Shandi tadi?
“Malam ini kamu beda, nggak seperti siang tadi. Ketus, jutek, nyebelin.” Aku tersenyum, “Kenapa sih tadi? Emang salah ya kalau aku bilang terima kasih?” Aku menggeleng. “Terus?” Aku menarik nafas panjang dan memikirkan setiap ucapan Mama beberapa hari ini, terutama siang tadi.
Jangan seperti ini Ezar, Shandi itu hanya teman kamu, dia juga manusia biasa. Bisa saja dia sekarang merasa senang berteman denganmu, lalu ketika menemukan teman baru dia merasa bahagia dengan teman barunya lalu pelan-pelan terlupa denganmu.
Kalimat itu, tidak bisa kuterima, tapi tidak bisa juga kusalahkan.
Mungkin juga, sekarang Shandi sudah menemukan jalan yang lebih baik. Selama tinggal di sini kan, Shandi selalu menemanimu, jadi kamu selalu seperti terikat dan selalu mengharapkan dia, lalu ketika dia pergi, kamu seperti laki-laki tua yang kehilangan tongkat. Seperti pemuda yang kehilangan pacar.
Yah, kalau dipikir-pikir Mama benar soal itu. Aku seperti seorang laki-laki yang baru saja patah hati karena ditinggal pergi sang pujaan hati. Tapi itu kan nggak mungkin, kami hanya berteman. Tidak lebih, tapi kenapa aku begitu kehilangan dan akhirnya benar-benar tak bisa melepaskan diri dari bayangan Shandi? Akhirnya ... kalimat Mama itu membuatku membuka mataku untuk hal baru. Dan kumulai dengan berusaha berteman dengan Lovely.
--- @@@ ---

Kami akhirnya berteman dengan baik, aku dan Ezar. Sejak makan malam itu, kami lebih sering bertemu dan saling tersenyum. Sekali waktu dia mengajakku ke taman dan melihat anak-anak kecil bermain, berlari-larian dan tertawa. Di lain waktu aku mengajaknya, atau lebih tepatnya memaksanya menemaniku makan es krim di pinggir jalan. Dan di kesempatan lain, secara berbarengan kami bertengkar karena dia ingin nonton film drama sementara aku lebih tertarik pada humor.
Tapi aku suka, kedekatan kami bisa dibilang semakin tak berjarak. Aku lebih mengenalnya sekarang dan mulai bisa membedakan mana Ezar yang sedang bahagia atau sedang marah besar. Hanya satu hal yang belum kumengerti darinya, kenapa setiap mendengar mamanya menyebut nama Shandi, mimik wajahnya berubah.
“Zar, boleh nanya nggak?”
“Apa?”
“Kamu punya pacar?” Ezar tersedak ketika mendengar pertanyaanku.
“Kenapa nanya itu? Tumben.”
“Pengen tahu aja, abis kamu nggak pernah ngenalin sama kau sih?”
“Emang harus dikenalin ya?”
“Iya dong, biar dia nanti nggak salah paham kalau melihat kita berdua di jalan.” Ezar tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Nggak ada?” tebakku.
“Iya, nggak ada, temen cewekku kan cuma kamu.” Hatiku rasanya senang sekali mendengarnya.
“Aku mau dong jadi pacarmu.” Mata Ezar terbelalak mendengar ucapanku. “Biar bisa dibeliin macam-macam sama kamu.”
“Maksudnya?”
“Kamu kan orangnya royal, lihat aja nih. Aku ngambek sedikit kamu sudah ajakin aku makan, kalau aku jadi pacar kamu, ngambek dikit aku mau minta dibeliin barang ma kamu, hihihi.” Dan kali ini aku berhasil membuatnya tertawa.
“Nggak ah, tekor dong aku.” Lalu kali ini, aku yang tertawa.
“Nggak mau karena takut tekor apa karena Shandi?” Mimik wajah Ezar berubah. Dia tegang, sepertinya sedang marah. “Kok tegang gitu?” tanyaku hanya dijawab dengan bisu. Dan aku sadar, dia menahan amarahnya. “Maaf Zar, aku hanya ingin tahu siapa Shandi dan kenapa dia ...”
“Kamu juga berpikir kalau Shandi itu pacarku? Dan kamu juga pasti berpikir kalau aku gay kan?” Kali ini aku yang kaget.
“Loh, kok mikir gitu?” tanyaku.
“Terus apa? Maksud pertanyaanmu itu apa? Kenapa bawa-bawa nama Shandi segala? Kamu sama saja seperti Arya, sepupumu itu. Dia juga sering mengejekku dan Shandi kalau jalan berdua. Itulah salah satu sebab kenapa Shandi pergi dari rumah, dia nggak tahan karena mendengar ucapan teman-teman yang menarik kesimpulan secara sepihak.” Aku diam. “Memangnya nggak boleh ya kalau aku berteman baik dan dekat dengan teman cowok juga? Salah ya?” suaranya meninggi.
“Tapi aku nggak bermaksud begitu Zar.” Aku menundukkan kepalaku. “Aku hanya ingin tahu siapa dia, karena selama ini kulihat wajahmu berubah setiap nama itu disebut.” Aku tidak berani menatap matanya, sepertinya dia benar-benar sedang marah.
Lalu tak lama, tangannya merengkuh tanganku. Menggenggamnya erat-erat. Kuangkat kepalaku memberanikan diri melihatnya.
“Dia sahabatku. Apapun hubunganku dengannya dulu itu adalah masa lalu, jadi kumohon jangan diungkit lagi.” Aku mengangguk. “Lagi pula, aku ngajak kamu ke sini bukan untuk bicara soal dia.”
“Kamu ngajak aku kesini kan biar aku nggak ngambek lagi.” Ezar tersenyum dan menyentuh pipiku.
“Ada hal lain Love,”
“Apa?”
“Aku mau kamu jadi pacarku.” Aku melihatnya tak percaya, tanpa ragu kalimat itu keluar dari mulutnya dan membuatku tak bisa berkata apa-apa. “Kamu sudah berhasil membantuku melepaskan diri sedikit demi sedikit dari bayangan Shandi. Dan aku ingin kamu membuatku merasakan bagaimana rasanya hidup yang berbeda tanpa terus dihantui perasaan kehilangan seorang sahabat.” Aku masih diam. “Aku tidak ingin kehilangan Shandi sebagai teman dalam memoriku, tapi juga tidak ingin terus memikirkannya dan melewatkan persahabatan denganmu. Karena itu, aku ingin kamu menemaniku.”
“Kan nggak harus jadi pacar.”
“Jadi kamu nolak?” Ezar melepaskan tangannya dari tanganku, juga tak lagi menyentuh pipiku.
“Bukan gitu, maksudku ... kalau kamu mau dibantu begitu kan aku nggak perlu jadi pacarmu, sekarang pun aku akan membantumu.”
“Tapi aku perlu kamu di sisiku, untuk menemaniku menjalani sisa hidupku dengan tersenyum. Dan itu hanya bisa kalau sudah menjadi kekasihku.” Aku diam. “Jadi mau nggak nih jadi pacarku?”
Hatiku bersorak gembira, bagaimana pun juga sudah lama aku menunggunya mengatakan hal seperti itu.
“Kelamaan jawabnya, ya sudahlah ... nggak jadi aja.”
“Eh, nggak boleh! Aku mau kok.” Dan kulihat dia tersenyum.
Malam ini kami melewati kebersamaan kami berdua dengan senyuman manis yang tak bisa terwakilkan oleh apapun. Ezar, aku telah mencarimu sejak lama. Bahkan sebenarnya, tanpa kau sadari aku telah mencarimu sejak kau mengacuhkanku. Bersyukur saat itu aku hampir tertabrak motor, jadi aku punya alasan untuk mengenalmu.
Ezar, kau memberikan warna lain dalam putihku dan akan kuberikan warna lagi dalam hitammu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kalau dibuat cerbung, kayaknya bakal penasaran sama sosok Shandi. hehe,,, :)

Posting Komentar